Selasa, 25 Agustus 2015

Makalah ............. ;)

Makalah Keraton Kasepuhan Cirebon

KERATON KESEPUHAN CIREBON 


                                                                DI SUSUN OLEH :

                                                                 NURFITRIYANTI
                                                                       Kelas : 1H
                                                                  NPM : 111060007

                                           FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
                                                 UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
                                                    TAHUN AKADEMIK 2011/2012

KATA PENGANTAR

             Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas karunia dan hidayahnya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan tema " Keraton Kesepuhan Cirebon ".

            Penulisan makalah ini adalah salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan mata kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar Universitas Swadaya Gunung Jati.

             Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun Materi, mengingat akan kemampuan yang di miliki oleh penulis masih terbatas. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan penyusunan makalah ini.

                                                                                                          Cirebon, 1 November 2011



                                                                                                                          Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN
        1.1 Latar Belakang
        1.2 Rumusan Masalah
        1.3 Tujuan
        1.4 Manfaat
BAB II METODE PENELITIAN
        2.1 Rancangan Penelitian

BAB III  LANDASAN TEORI
BAB IV PEMBAHASAN
        3.1 Peranan Keraton Kesepuhan
        3.2 Arsitektur dan Interior
        3.3 Koleksi Musium

BAB V PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA


BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

            Keraton Kesepuhan didirikan pada tahun1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang Menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kesepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati Berasal dari nama Ratu Ayu Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang meniksh dengan Sunan Gunung Jati. Putri itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.

            Akhirnya beliau wafat pada tahun 1549 didalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa dalam keadaan yang sangat tua, dari pengorbanan tersebut akhirnya nama beliau di abadikan dan dimulyakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kesepuhan.

            Berdasarkan konsep tersebut diatas maka uraian ini membahas suatu pendekatan umum yang menerangkan tentang Bagaimana Peranan Keraton Kesepuhan terhadap pemeliharaan kebudayaan cirebon beserta Peninggalan-peninggalannya.

1.2 Rumusan Masalah

             Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah di uraikan sebelumnya, maka permasalahannya dapat di rumuskan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian dan Peranan Keraton Kesepuhan terhadap Pemeliharaan Kebudayaan di Cirebon ?
2. Bagaimana Arsitektur dan Interior yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon ?
3. Apa saja koleksi-koleksi bangunan dan alat musik yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon ?
4. Apa saja Urutan-urutan Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon?

1.3 Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) pada Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar oleh Bapak Agus Saoriyadi, S.pd, M.Si.
2. Untuk mengetahui Sejarah Keraton Kesepuhan yang berada di Cirebon Jawa Barat.
3. Untuk mengetahui manfaat atau kegunaan dari peninggalan-peninggalan
pada zaman kerajaan-kerajaan yang berada di Cirebon Jawa Barat.
4. Untuk Menarik Minat Mahasiswa untuk lebih mengenal lebih jauh Keraton Kesepuhan Cirebon.

I.4 Manfaat

1. Menambah wawasan tentang Keraton Kesepuhan Cirebon.
2. Di gunakan Sebagai Sumber Informasi bagi masyarakat yang tertarik terhadap kebudayaan Cirebon.
3. Menarik minat Mahasiswa untuk lebih mengenal Keraton Kespuhan sebagai salah satu bentuk kebudayaan di Cirebon.

BAB II : METODE PENELITIAN

2.1 Rancangan Penelitian
Dalam merancang penelitian yang akan dilaksanakan, penulis menggunakan metode observasi.
a) Observasi
Dalam Penelitian yang di laksanakan, penulis menggunakan metode observasi, yakni terjun langsung kelapangan. Hal ini dilakukan agar data yang di peroleh lebih akurat karena berasal dari narasumbernya. Observasi yang di lakukan penulis ini di laksanakan pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 11 Oktober 2011
Waktu : 13.00 WIB s/d Selesai
Tempat : Keraton Kesepuhan Corebon Jawa Barat

BAB III : LANDASAN TEORI

Pada landasan teori ini akan diterangkan teori yang berhubungan dengan judul penulisan ini. Diantaranya;
A. Pengertian  dan Peranan Keraton Kesepuhan terhadap pemeliharaan kebudayaan di Cirebon.
B. Arsitektur dan Interior yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon.
C. Koleksi-koleksi dan Alat Musik yang ada di Keraton Kesepuhan Cirebon.
D. Urutan Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon.

BAB IV : PEMBAHASAN

A.Pengertian dan Peranan Keraton Kesepuhan  terhadap pemeliharaan kebudayaan di Cirebon

             Pada abad ke-15, pangeran Cakrabuana Putra Mahkota Pajajaran membangun keraton yang kemudian diserahkan kepada putrinya Ratu Ayu Pakungwati, Istri dari sunan Gunung Jati, maka keratonnya di sebut Keraton Pakungwati. Sejak didirikannya Keraton Kanoman pada tahun 1679 oleh Sultan Anom I, Maka semenjak itu Keraton Pakungwati bergelar Keraton Kesepuhan.

             Keraton Kesepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna disetiap sudut Arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
             Keraton memiliki musium yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang di keramatkan yaitu Kereta Singa Barong. Kereta Singa Barong saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 syawal untuk di mandikan.

             Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih, didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.

             Lokasi bangunan Keraton Kesepuhan membujur dari utara ke selatan atau menghadap ke utara, karena keraton-keraton di Jawa semuanya menghadap ke utara artinya menghadap magnet dunia, arti falsafahnya sang raja mengharapkan kekuatan.

             Sebagai pusat dakwah Islam, keraton memegang peranan yang sangat vital, ini jelas terlihat dari sejarah yang menyebutkan bahwa Syaikh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) selain berperan sebagai seorang sultan, beliau juga adalah seorang hakim atau Qadi. Ajaran agama Islam yang di bawa wali sanga ini memiliki pemahaman bahwa Islam adalah agama yang Transformatif yang bisa berakulturasi dengan budaya masyarakat di wilayah penyebarannya masing-masing. Oleh karena itu Keraton harus mampu menjadi ujung tombak dan juga pusat dakwah ajaran Islam di wilayah kekuasaannya.

B. Arsitektur dan Interior

             Apabila kita perhatikan ruang luar Keraton Kesepuhan, kita bisa melihat bagaimana perpaduan unsur-unsur Eropa seperti meriam dan Patung Singa dihalaman muka, Furnitur dan meja kaca gaya Perancis tempat para tamu sultan berkaca sebelum menghadap, gerbang ukiran Bali dan Pintu Kayu model ukiran Perancis yang menampakkan gambaran kosmopolitan Keraton Kesepuhan yan tersimpan dalam musium Keraton.

             Kegemaran Kesultanan Cirebon mengadopsi gaya dan arsitektur model Eropa yang mengisi bagian dalam Keraton Kesepuhan. Perhatikan bagaimana model dan ukiran ruang pertemuan sultan dengan para menteri yang di buat dengan model hampir sama dalam interior kerajaan perancis dibawah dinasti Bourbon, seperti model kursi, meja dan lampu gantung. Bagaimanapun terdapat kombinasi gaya interior ini apabila kita memperhatikan sembilan kain berwarna di latar belakang singgasana raja yang melambangkan sosok wali sanga. Di sini tradisi Jawa bercampur dengan Eropa yang telah 'di lokalkan'.

             Hal yang menarik dari Keraton Kesepuhan adalah adanya piring-piring porselin asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di Keraton, Piring-piring porselin itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon.

C. Koleksi Musium

1. Musium Benda Kuno

Musium ini menyimpan barang-barang kerajinan, diantaranya ;
a) Seperangkat Gamelan Degung persembahan dari Ki Gede Kawungcaang Banten tahun 1426.
b) Seperangkat Gamelan berlaras Slendro dan Wayang Purwa dari Cirebon tahun 1748 peninggalan Sultan  Sepuh IV.
c) Seperangkat Gamelan Sekaten persembahan dari Sultan Demak ke III (Sultan Trenggono).
d) 4 buah rebana peninggalan Sultan Kalijaga tahun 1412 dan Genta (bel) yang di namai Bergawang.
e) Rak berisi beberapa buah tombak untuk khotbah.
f) Di sudut ruangan ada satu set meja kursi hitam model Eropa.
g) Vitrin I: Berisi Pagoda Graken untuk tempat jamu, Peti Kandaga dari Suasa tempat perhiasandan Kaca Rias semua peninggalan tahun 1506.
h) Vitrin II: Berisi tempat tinta dari cina tahun 1697, Ani-ani untuk potong padi, Gelas minum dari VOC tahun 1495,dan alat upacara Raja.
i) Vitrin III: Berisi 24 buah baju logam disebutHarnas/Malin juga disebut Baju Kere dari Portugis tahun 1527.
j) Vitrin IV: Berisi Kujang, Cundrik Pedang dan Trisula.
k) Vitrin V: Berisi beberapa buah mata tombak, dll.

2. Musium Kereta

               Di sebelah timur Taman Bunderan Dewan Daru berdiri bangunan untuk tempat penyimpanan Kereta Pusaka yang dinamakan Kereta Singa Barong.

               Di dalam musium Kereta juga terdapat 2 buah Tandu Jempana dari Cina, persembahan dari Kapten Tan Tjoeng Lay dan Kapten Tan Boen Wee tahun 1676. Tandu Jempana ini untuk Permaisuri dan Putra Mahkota. Tandu Garuda Mina di buat pada tahun 1777 di gempol Palimanan, tandu ini di pergunakan untuk mengarak anak yang mau di khitan. Juga terdapat pedang-pedang dari Portugis dan belanda, 2 buah meriam dari Mongolia pada tahun 1424 yang berbentuk naga. Di belakang Kereta terdapat tombak-tombak panjang berbendera kuning yang disebut Blandrang. Juga terdapat Tanggul Gada atau Tanggul Manik sebagai lambang pengayoman. Dan juga seperangkat Angklung Kuno persembahan dari masyarakat daerah Kuningan. 

D. Urutan-urutan Baluarti Keraton Kesepuhan Cirebon

             Keraton Kesepuhan Cirebon mempunyai bangunan-bangunan bersejarah dengan urutan Baluarti Keraton meliputi Alun-alun yang fungsinya untuk apel besar dan baris berbaris para prajurit juga pentas perayaan negara, Masjid Agung yang di pergunakan untuk ibadah dan kegiatan Agama, Pancaretna, Panca Niti, Kali Sipadu , Kreteg Pangrawit, Lapangan Giyanti, Siti Inggil, Pengada, Kemandungan, Langgar Agung, Pintu Gledegan, Taman Bunderan Dewan Daru, Musium Benda Kuno, Musium Kereta, Tugu Manunggal, Lunjuk, Sri Manganti, Kuncung dan Kutenegara Wadasan, Pringgandani, Langgar Alit, Jinem Arum, Kaputran, Bangsal Prabayaksa, Kaputren, Dalem Arum, Bangsal Agung Panembahan, Pungkuran, Dapur Mulud, dan juga Pamburatan.

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan

             Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka uraian ini membahas suatu pendekatan umum yang menerangkan bahwa Keraton Kesepuhan memiliki Peranan yang sangat penting dalam Pemeliharaan Kebudayaan di kota Cirebon atau bahkan memberikan kontribusi yang mencangkup aspek material dan juga spiritual melalui peninggalan-peninggalannya seperti Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Alat-alat musik, Arsitektur dan Interior bangunannya, serta penyebaran Kebudayaan Islam oleh wali sanga yang harus kita junjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritualnya.

B. Saran

              Sebagai generasi penerus bangsa yang memiliki nilai moral yang tinggi, kita harus memelihara dan bangga terhadap apa yang telah diberikan oleh nenek moyang kita terdahulu melalui peninggalan-peninggalannya. Salah satunya ialah Keraton Kesepuhan Cirebon yang memiliki banyak fungsi dan sejarah yang harus kita ketahui.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.Cirebon kota.go.id
Argadikusuma, E.Nurmas, (1998), Baluari Keraton Kesepuhan. Cirebon.
http://www.btpnkl.edu.mycerdik.net/bahan-sejarah/definisi-keraton kesepuhan cirebon
http://id.wikipedia.org/wiki/keraton_kesepuhan

Rabu, 19 Agustus 2015

Semangat yaaaaaa........... :)



ADAT MASYARAKAT KOMERING DALAM PEMBERIAN GELAR
 SAAT UPACARA PERNIKAHAN DI DESA SERITANJUNG
TANJUNG LUBUK, OGAN KOMERING ILIR

http://www.radenfatah.ac.id/tinymcpuk/gambar/image/Logo-11.jpg

OLEH :

                                          NAMA           : ABDUL HALIF
                                          NIM                : 12420001                                   



JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2014



DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................  
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................  
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................  
B. Rumusan Masalah .........................................................................................  
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................................  
D. Tinjauan Pustaka ...........................................................................................  
E. Landasan Teori ..............................................................................................
F. Metode Penelitian ..........................................................................................  
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................  













BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
 Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan karya manusia. Ia tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan sebagainya. Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok dalam arti luas. Berlainan dengan binatang maka manusia tidak bisa hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi seluruh perbuatan manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang senantiasa bersifat dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi “kata benda” melainkan “kata kerja”.
Kebudayaan diartikan sebagai upaya masyarakat untuk terus-menerus secara dialektis menjawab setiap tantangan yang dihadapkan kepadanya dengan menciptakan berbagai sarana dan prasarana. Kebudayaan mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia karena setiap manusia dalam masyarakat selalu menemukan kebisaaan baik atau buruk bagi dirinya. Kebiasaan yang baik akan diakui dan dilaksanakan oleh orang lain yang kemudian dijadikan sebagai dasar bagi hubungan antara orang-orang tertentu, sehingga tindakan itu menimbulkan norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu disebut juga dengan istiadat atau tradisi, yang lahir dalam ruang lingkup historisitasnya.
Salah satu tradisi yang berkembang dimasyarakat adalah penyelenggaraan upacara adat dan aktivitas ritual yang memiliki arti bagi warga pendukungnya, selain sebagai penghormatan terhadap leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai sarana sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat Komering di desa Seritanjung. Di sana, terdapat suatu bentuk upacara adat yang dianggap sakral dalam menggunakan simbol-simbol sehingga menarik untuk diteliti, yaitu pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan secara simbolis oleh pemangku adat setempat kepada kedua mempelai. Pemberian ini, dalam konteks wilayah Sumatera Selatan merupakan sebuah tradisi yang sifatnya terbatas di luar institusi budaya Kesultanan Palembang Darussalam.
Masyarakat Komering (jolma Kumoring) adalah suku-bangsa yang hidup di tepian sungai Komering di wilayah Sumatera Selatan. Dalam segi bahasa, logat masyarakat Komering mirip logat Lampung sehingga sering dikira orang Lampung. Beberapa literatur menyebutkan bahwa orang Komering adalah bagian dari orang Lampung pesisir yang berasal dari Sekala Brak yang telah lama. Sekala Brak adalah sebuah kerajaan yang letaknya di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way bermigrasi ke dataran Palembang pada sekitar abad ke-7, dan telah menjadi beberapa Kebudayan atau Marga Pembagian daerah bagi suku bangsa Lampung diatur oleh Umpu Bejalan Diway dari Kepaksian Sekala Brak Namun terdapat juga literatur yang menyebutkan sebenarnya justru suku Lampung pesisir adalah perantauan dari daerah Sumatera Selatan yang berimigrasi ke daerah pinggiran, dan banyak cerita daerah yang menyebutkan justru suku Komering jauh lebih tua kebudayaannya dari orang Lampung, bahkan istilah suku Lampung sendiri baru resmi dengan dibentuknya propinsi Lampung.
Kerancuan sejarah ini dikarenakan penjajahan Belanda yang lebih dahulu menduduki Lampung dan menjadikan Lampung sebagai pusat kegiatan penjajahan. Selain itu, setelah Lampung menjadi propinsi, dengan sendirinya kebudayaan Lampung yang lebih dikembangkan. Sangat berbeda dengan suku Komering yang terpecah-pecah dalam beberapa Kabupaten di wilayah Sumatera Selatan, sehingga sulit mengembangkan dan mengenalkan kebudayaan Komering atau sungai-sungai yaitu Way Komering, Way Kanan, Way Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya, sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Umpu Bejalan Diway merupakan salah satu dari empat keturunan Raja Pagaruyung Minangkabau (Maulana Umpu Ngegalang Paksi) yang menyebarkan Islam di bumi Sekala Brak yang penduduk aslinya disebut dengan buay/suku Tumi.
Mayoritas masyarakat Komering menganut agama Islam, walaupun ada juga sebagian kecil masyarakat yang menganut agama Katolik, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan lainnya. Islam sebagai agama mayoritas yang terjadi di masyarakat Komering berpengaruh terhadap adat-istiadat, hukum, ekonomi, dan sosial-budaya yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Proses akulturasi yang terjadi antara budaya lokal (Sumatera Selatan termasuk di dalamnya suku Komering) dengan Islam terakumulasi dalam kitab kumpulan hukum adat atau yang lebih dikenal dengan kitab Undang-undang Simbur Cahaya karangan Ratu Sinuhun, yang mempengaruhi sistem kemasyarakatan Sumatera Selatan, kemudian membentuk paradigma masyarakat dengan istilah "adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah".  
Demikian pula dengan masyarakat Komering yang ada di Gumawang, peradaban mereka dibangun di pinggiran aliran irigasi Sungai Komering yang berhulu dari Danau Ranau hingga Sungai Musi di hilir. Awalnya, masyarakat Komering hampir merata tinggal di daerah pinggiran Sungai Komering di wilayah Gumawang. Namun, kenyataan seperti itu sudah jarang ditemukan sekarang, karena mayoritas masyarakat Komering semakin termarjinalkan yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang datang terus silih berganti. Ratu Sinuhun adalah istri Pangeran Sido Ing Pasarean yang pernah berkuasa di Kesultanan Darussalam Palembang pada 1642 Masehi. Kitab Simbur Cahaya terdiri atas 5 bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di Sumatra Selatan, khususnya terkait persamaan gender wanita dan pria. Sebagai pemberitahuan saja, bahwa kitab Simbur Cahaya berlaku hingga pemerintah Indonesia memberlakukan UU No.5 tahun 1979. Menurut budayawan Djohan Hanafiah, Saat Simbur Cahaya diberlakukan kondisi alam di Sumatera Selatan terjaga, tapi sejak UU No.5 Tahun 1979 diberlakukan, semuanya menjadi rusak, termasuk hukum adat. pendatang ini mayoritas berasal dari pulau Jawa. Jadi tidak heran, bila saat ini daerah Gumawang menjadi salah satu basis pelestarian budaya Jawa di Sumatera. Sementara untuk budaya suku asli sendiri (Komering) sudah hampir tidak terlalu menonjol. Sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini budaya suku asli yang masih ada hanyalah ”runcak-runcakan”atau lebih populer dikenal dengan sebutan ”lempar selendang”.
Perkawinan dalam Islam, sebagaimana diketahui, merupakan sebuah perjanjian antara dua pasang yang setara Seorang wanita sebagai pihak yang sederajat dengan pria dapat menetapkan syarat-syarat yang diinginkan sebagaimana juga pria, sehingga dalam sebuah perkawinan antara pria dan wanita tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Masyarakat Komering yang menganut sistem patrilineal dalam keluarga sangat membatasi gerak kerabat wanita. Di dalam keluarga, pria bertugas menjaga martabat saudara wanita dan keluarganya. Posisi pria tersebut banyak disimbolkan dalam acara-acara adat. Dalam penelusuran peneliti dari beberapa wawancara dan literatur yang ada, pemberian gelar adat diberikan kepada semua bujang-gadis Budaya lempar selendang merupakan tradisi masyarakat Komering yang dilaksanakan dalam acara pesta perkawinan yang dihadiri oleh pemuda-pemudi setempat. Selengkapnya lihat dari masyarakat Komering yang telah dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan.
Dalam lingkungan sosial, masyarakat yang memiliki gelar adat akan disapa sesuai dengan gelarnya. Misalkan, apabila mempelai pria itu merupakan anak terakhir atau bungsu, maka menggunakan gelar dengan putra nan bungsudan dipanggil dengan kata "bungsu". Pemakaian gelar adat juga mengikuti urutan kelahiran, sehingga gelar bisa disesuaikan.
Simbol sebagai salah satu inti dari kebudayaan dan menjadi pertanda dari tindakan manusia selalu ada dan masuk dalam segala unsur kehidupan. Simbol-simbol yang berupa benda-benda, sebenarnya terlepas dari tindakan manusia. Tetapi sebaliknya, tindakan manusia harus selalu mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar dalam komunikasi antar sesama. Penggunaan simbol  dalam wujud budaya ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, yang dianut secara tradisonal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian ini kemudian kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan secara historis dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.
Hal unik yang akan diteliti di sini adalah gelar adat yang diberikan kepada kedua mempelai dalam upacara perkawinanmasyarakat Komering di Gumawang, OKU Timur, Sumatera Selatan. Gelar adat yang dimaksud dalam konteks ini adalah simbol penghormatan terhadap seseorang yang telah menginjak dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan. Ukuran dewasa seorang ditentukan apabila telah berumah tangga. Oleh karena itu, untuk setiap pria pada saat upacara perkawinan ia harus diberi gelar adat, serta mempelai wanitanya juga. Tradisi ini memiliki kesamaan dengan tradisi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang dalam upacara perkawinannya, mendapatkan gelar. Perbedaannya hanya pada siapa yang memberikan gelar dan siapa saja yang menerimanya. Misalnya gelar Ratu Marga, yang diberikan kedua orang tua dari kedua mempelai dengan mengambil gelar-gelar dari leluhurnya, dan diumumkan oleh pemangku adat setempat dalam tradisi Komering. Sutan Dirajo misalnya, yang diberikan kepada mempelai pria oleh mamak/ibunya dalam tradisi Minang,dan gelar itu berfungsi untuk menghormati dan mengangkat harkat.
Penelitian ini penting dilakukan, mengingatgelar yang diberikan tidak terbatas hanya kepada golongan bangsawan saja, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi keraton Jawa, tetapi kepada seluruh masyarakat yang telah menginjak dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan. Dengan demikian, secara tidak langsung hal semacam ini (tradisi pemberian gelar adat) memiliki implikasi sosial dalam masyarakat berupa pemaknaan gelar adat tersebut di dalam kesehariannya.

B.  Batasan dan Rumusan Masalah
Atas dasar kegelisahan akademik dalam latar belakang di atas, maka kajian ini berusaha membatasi dan menfokuskan masalah pada makna gelar adat dalam perkawinan masyarakat Komering di Gumawang. Pemilihan daerah Gumawang sebagai lokasi dalam penelitian ini, karena daerah ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Komering yang dihuni oleh masyarakat Komering dan sebagian masyarakat pendatang lainnya.
Selain itu, pemilihan daerah ini sebagai lokasi penelitian karena Desa Gumawang merupakan pusat pemerintahantingkat Kecamatan, yakni Kecamatan Belitang. Dengan posisi seperti itu, Gumawang menjadi desa yang sering dikunjungi oleh daerah-daerah sekitar, baik dalam urusan sosial-budaya, ekonomi dan pendidikan sekalipun. Hal ini disebabkan karena perkembangan pembangunan yang pesat dan letak desa yang strategis dan memiliki fasilitas yang lebih memadai ketimbang daerah lain di sekitarnya.
Untuk mempermudah dan mengarahkan penelitian ini, maka penulis membuat rumusan masalah yang terformulasi dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.Bagaimana prosesi perkawinan masyarakat Komering di Gumawang?
2.Bagaimana latar belakang pemberian gelar adat?
3.Apa makna gelar adat dalam perkawinan masyarakat Komering secara individu dan masyarakat?

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu pula dengan penelitian ini, mempunyai tujuan sebagai berikut: pertama, untuk mengkaji tata cara pelaksanaan upacara perkawinan adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Komering sebagai ekspresi budaya Islam. Kedua, menguraikan, mendeskripsikan dan menganalisis makna pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering yang terdapat di Gumawang. Ketiga, mengetahui makna atau arti yang terkandung dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering, khususnya gelar adat. Dari sini didapat gambaran yang proporsional, baik secara teoritis, maupun secara empiris di lapangan.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Memperluas cakrawala pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Nusantara sebagai warisan yang harus dilestarikan.
2.      Sebagai bahan pertimbangan dan acuan bagi masyarakat luas umumnya, dan masyarakat setempat khususnya dalam memahami pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering.
3.      Melengkapi penelitian tentang perkawinan di Indonesia dan perkawinan adat masyarakat Komering khususnya.

D.      Tinjauan Pustaka
Kajian tentang perkawinan adat telah cukup banyak dilakukan oleh peneliti dari luar maupun dalam negeri. Namun kajian tentang perkawinan adat masyarakat Komering sejauh penelusuran peneliti belum banyak diteliti, apalagi yang secara spesifik melihat praktek pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering.
Beberapa karya ilmiah yang pernah membahas tentang perkawinan adat adalah skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004 dengan judul “Tradisi Perkawinan Adat di Kecamatan Tapanuli Selatan Ditinjau Dalam Hukum Islam” yang ditulis oleh Damrin Nasution. Dalam skripsi tersebut, Damrin hanya mendeskripsikan perkawinan adat pada masyarakat Padang Bolaq yang ditinjau dalam konsep hukum Islam. Ia mengemukakan bahwa dalam perkawinan adat tersebut terdapat unsur-unsur yang tidak sesuai dengan konsep hukum Islam, namun juga terdapat unsur-unsur yang memiliki keselarasan dengan kaidah hukum Islam.
Skripsi Puji Wiyandari, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, berjudul “Upacara Pernikahan Adat Jawa Analisis Simbol Untuk Memahami Pandangan Hidup Orang Jawa”. Pada penelitian ini difokuskan pada makna simbol upacara pernikahan untuk memahami pandangan hidup orang Jawa yang dapat dilihat dari seluruh prosesi pelaksanaan serta perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam upacara pernikahan.
Skripsi Ahmad Syauqi, Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, “Transformasi Nilai Islam dalam Perkawinan Adat Banjar di Kalimantan Selatan”. Dalam skripsi ini, yang menjadi fokus penelitian adalah nilai-nilai Islam yang terdapat dalam perkawinan adat masyarakat Banjar. Dalam kesimpulannya, Syauqi mengungkapkan bahwa perkawinan adat Banjar banyak mengandung nilai-nilai Islam yang terkadang hanya dianggap sebagai adat biasa saja. Nilai-nilai itu meliputi seluruh prosesi perkawinan adat masyarakat Banjar yang terjadi sejak awal perkembangan Islam di Banjar. Hal ini membuktikan bahwa Islam memiliki pengaruh dan meninggalkan kesan mendalam terhadap kebudayaan Banjar.
Ada juga hasil penelitian yang diterbitkan dalam bentuk buku oleh M. Hatta Ismail dan M. Arlan Ismail dengan judul Adat Perkawinan Komering Ulu Sumatera Selatan. Dalam buku yang mengambil lokasi di daerah Minanga, Kabupaten OKU Timur tidak saja memfokuskan pada perkawinan adat Komering Minanga, mulai dari tahap awal hingga akhir, tetapi juga menyebutkan sejarah yang terkait dengan penggunaan bahasa Komering yang mereka identifikasi memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu Kuno sebagaimana yang dipakai pada zaman Sriwijaya.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian di atas terletak pada fokus penelitian yang lebih menitik-beratkan pada makna simbolis dari unsur-unsur dalam perkawinan adat masyarakat Komering di Gumawang. Khususnya mengenai makna gelar adat secara individu dan bagi masyarakat pendukung tradisi tersebut. Dengan demikian, penelitian ini jelas berbeda dengan penulisan-penulisan sebelumnya, khususnya yang terkait dengan pokok persoalan.
Dari beberapa literatur tersebut, penulis belum menemukan pembahasan yang memfokuskan pada makna simbolis dari gelar adat yang diberikan kepada kedua mempelai yang telah menjadi tradisi masyarakat Komering di Sumatera Selatan di luar institusi kebudayaan Kesultanan Darussalam Palembang. Denganasumsi penelitian ini sebagai pembeda sekaligus pelengkap penelitian-penelitian tentang perkawinan adat di Indonesia dan literatur atau buku-buku yang sudah ada dipergunakan sebagai bahan referensi yang dapat membantu dalam penulisan penelitian ini.

E.       Landasan Teori
                Gelar adat adalah sebuah simbol penghormatan keluarga dan masyarakat terhadap kedua mempelai yang akan memasuki gerbang kehidupan yang baru dan akan menjadi anggota masyarakat secara utuh. Adapun gelar adat merupakan simbol atas kedewasaan kedua mempelai yang ditandai dengan suatu perkawinan. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna gelar adat dalam perkawinan adat pada masyarakat Komering ini, penulis menggunakan teori simbol yang dikemukakan oleh Victor Turner.
Kata simbol berasal dari kata Yunani yaitu simbolon yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal simbolicum, artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Selanjutnya, dalam simbol-simbol tersebut memiliki makna yang sangat prinsipil bagi setiap masyarakat pendukungnya, karena hal tersebut mempengaruhi tata kelakuan dan seluruh sistem kehidupan yang ada dalam masyarakat, tidak terkecuali suku Komering.
Dalam konteks ini, simbol yang digunakan dalam sebuah ritual adalah gelar adat yang diberikan kedua orang tua kepada kedua mempelai dengan mengambil gelar-gelar dari leluhurnya, dan diumumkan oleh pemangku adat setempat pada saat upacara perkawinanadat masyarakat Komering. Simbol merupakan unsur atau unit terkecil yang tersublimasi dalam setiap budaya, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau lambang. Selanjutnya, unsur-unsur yang ada dalam bentuk simbol akan diberi makna oleh masyarakat pendukung dari kebudayaan tersebut dengan menafsirkan dan mengartikannya dalam kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh identitas bersama.
Artinya, simbol tidak akan pernah memiliki makna bila masyarakat tidak memberikannya. Untuk memahami pendefinisian simbol, kita harus memahami definisi dan proses pendefinisiannya melalui perilaku masyarakat yang berupa interaksi sosial. Karena melalui interaksi seseorang akan menafsirkan dan memberikan definisi terhadap simbol yang diterima masyarakat untuk membentuk suatu pengertian yang utuh.
Victor Turner menghubungkan suatu perkawinan dengan liminalitas. Liminalitas adalah tahap tatkala seseorang mengalami keadaan ketidakberbedaan. Artinya, seseorang mengalami sesuatu yanglain dengan keadaan sehari-hari yaitu pengalaman yang anti struktur. Liminal itu sering diartikan sebagai peralihan. Pengalaman ini akan membuat seseorang sadar diri, sadar akan eksistensinya dengan melakukan refleksi diri dalam rangka sedang meninggalkan masa tertentu dan sedang masuk masa tertentu pula. Ringkasnya, gelar adat ini diberikan sebagai konsekuensi logis dari tahap (masa) yang telah dilewati dan sedang masuk dalam tahap berikutnya dalam siklus kehidupan manusia.
Dalam pandangan Van Gennep ketika seseorang memasuki masa peralihan dari satu situasi ke situasi lain, akan mengalami tiga proses, yaitu: pertama, ritus pemisahan. Dalam hal ini terjadi pemisahan dari satu cara hidup ke cara hidup lainnya. Kedua. ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalnya kelahiran, supitan dan sebagainya.
Ketiga, ritus inkorporasi, ritus yang menyatukan, misalnya hubungan pernikahan. Ritus inkorporasi menonjol dalam upacara perkawinan, karena di sini peran persatuan antara suami-istri sangat ditekankan. Artinya dua menjadi satu untuk membangun satu keluarga baru.
  Upacara perkawinan merupakan suatu peralihan yang terpenting, karena upacara tersebut dianggap merayakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke tingkat hidup dewasa yang ditandai dengan suatu perkaw
inan. Dalam masyarakat, peralihan status merupakan suatu peralihan yang suci. Orang akan memasuki tahap baru dalam kehidupan masyarakatnya. Setiap peralihan status diiringi dengan ritus untuk menghindari adanya sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti halnya pada masyarakat Komering, dalam hal ini mereka percaya bahwa ketika tidak mengadakan ritual, mereka akan diganggu oleh roh leluhur dan akan menimbulkan malapetaka.
Turner juga mengetengahkan ciri khas simbol, yaitu:
(a) multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti, menunjuk pada banyak hal, pribadi dan atau fenomen. Hal ini menunjukkan betapa kaya makna simbol ritual, (b) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak arti sering ada arti simbol yang bertentangan.
(c) unifikasi, artinya unik dan memiliki kesatuan arti. Turner juga mensugestikan bahwa melalui analisis simbol ritual akan membantu menjelaskan secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan menghilangkan keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan.
Dalam pengaplikasiannya, makna simbol dalam aktivitas ritual perkawinan adat masyarakat Komering dianalisis menggunakan teori penafsiran yang juga dikemukan oleh Turner sebagai berikut:
(1)   exegetical meaning
yaitu makna yang diperoleh dari informan warga setempat tentang perilaku ritual yang diamati. Dalam ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang peneliti juga harus tahu pasti tentang penjelasan yang diberikan informan itu benar-benar representatif dan atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang unik;
(2)   operational meaning
yaitu makna yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi pada tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat seharusnya tidak hanya mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan kualitas afektif informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek, gembira dan sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual? Bahkan peneliti juga harus sampai memperhatikan orang tertentu ataukelompok yang kadang-kadang hadir atau tidak hadir dalam ritual. Apa dan mengapa pula mereka mengabaikan kehadiran simbol;
(3)   positional meaning
yaitu makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual. Pendek kata, makna suatu simbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks simbol yang lain dan pemiliknya.
Ketiga dimensi penafsiran tersebut, sebenarnya saling lengkap-melengkapi dalam proses pemaknan simbol ritual. Jika nomor (1) mendasarkan wawancara kepada informan setempat, nomor (2) lebih menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika sosial, dan nomor (3) mengarah pada hubungan konteks antar simbol dengan pemiliknya. Ketiganya tentu saja tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap makna pemberian gelar adat (julukan) dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering.
Untuk memahami fenomena budaya atau gejala budaya dalam tradisi ini, penulis menggunakan pendekatan gabungan antara emik dan etik, artinya bahwa data etnografi tidak hanya diperoleh dari informasi warga Gumawang yang bersangkutan, tetapi juga dapat diperoleh dari pemikiran yang berpihak pada antropologi (bahan-bahan yang mengulas tentang budaya tersebut). Dengan pendekatan ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh data yang komprehensif dan holistik. Hal ini sekaligus untuk melakukan kritik terhadap data yang diperoleh dari lapangan.

F.    Metode Penelitian
Berdasarkan tempatnya, penelitian digolongkan menjadi tiga macam, yaitu
penelitian yang dilakukan di perpustakaan (Library Research), penelitian yang dilakukan di lapangan (Field Research), dan penelitian yang dilakukan di laboratorium (Laboratory Research). Karena penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di lapangan atau kancah, maka penelitian ini termasuk dalam Field Research, yang lebih merupakan studi tentang kajian budaya atau tradisi. Namun demikian, penelitian ini juga menggunakan data literatur yang dimaksudkan sebagai data pelengkap.
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode penelitian budaya dengan jenis kualitatif yang berupa deskripsi, yaitu ucapan atau tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari subjek budaya itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menempuh tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.    Teknik Pengumpulan Data (Heuristik)
Heuristik berasal dari bahasa Yunani heurisken yang berarti memperoleh.  Heuristik adalah teknik atau seni mengumpulkan data yang tidak mempunyai peraturan-peraturan umum, ia tidak lebih dari suatu keterampilan menangani bahan.
Berkaitan dengan topik yang akan diteliti, yaitu pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering di Gumawang, OKU
Timur, Sumatera Selatan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.         Observasi
Observasi adalah pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan mengadakan pengamatan inderawi dan melakukan pencatatan terhadap gejala-gejala yang terjadi pada objek penelitian secara langsung di tempat penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengadakan pengamatan langsung terhadap proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Komering di Gumawang.
b.        Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keterangan-keterangan. Jenis interview yang peneliti pergunakan dalam penelitian ini adalah bebas terpimpin, yaitu dengan tidak terikat kepada kerangka pertanyaan-pertanyaan, melainkan dengan kebijakan interviewer (pewawancara) dan situasi ketika wawancara dilakukan.
Dalam menggunakan interview tidak terlepas dari masalah pokok yang perlu diperhatikan seperti yang telah dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yaitu: Pertama, seleksi individu untuk diwawancarai; kedua, pendekatan pada orang yang telah diseleksi untuk diwawancarai; ketiga, pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai serta untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang diwawancarai. Adapun pihak-pihak yang dijadikan nara sumber atau informasi adalah para tokoh masyarakat dan lebih ditekankan pada pelaku upacara adat, yaitu kedua mempelai pengantin, pemangku adat, tokoh agama, dan perangkat desa.
c.    Dokumentasi
                 Dalam pengumpulan sumber tertulis, peneliti menggunakan metode dokumenter, yaitu teknik penelitian, teknik penyelidikan yang ditujukan pada penguraian dan penjelasan terhadap apa yang telah lalu melalui sumber dokumen. Metode ini dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber primer dan sekunder, yakni melalui sumber yang diperoleh dari dokumen, buku dan foto dari beberapa sumber yang ada.
2.    Kritik Sumber
Penelitian ini menggunakan kritik sumber yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang diperoleh. Kritik dilakukan dengan kritik intern dan ekstern.
a.       Kritik Intern
Kritik Intern bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data) sumber data itu. Dengan kritik intern ini penulis berusaha mendapatkan kebenaran sumber data dengan mengkaji berbagai faktor seperti adanya kesesuaian hasil wawancara dengan observasi dan penelitian yang penulis lakukan.
b.      Kritik Ekstern
Kritik ekstern dilakukan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh keyakinan bahwa penelitian telah dilakukan dengan mempergunakan sumber data yang tepat.

Adapun terhadap sumber lisan, penulis melakukan kritik ini dengan melihat integritas pribadi informan, usia informan, jabatan informan, dan keterlibatan informan dalam pelaksanaan tradisi
3.        Analisis data
Analisis itu sendiri berarti menguraikan atau memisah-misahkan, maka menganalisis data berarti menguraikan data, sehingga berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan. Pada tahap ini peneliti melakukan penafsiran dan analisis data yang telah diperoleh yang memiliki kaitan atau berhubungan dengan judul atau topik masalah. Tahap terakhir dari analisis data adalah penyatuan data dalam bentuk sintesis.
4.        Laporan Penelitian
Setelah langkah operasional dilakukan, maka hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian. Sebagai tahap terakhir dalam metode budaya, penulisan di sini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil penelitian budaya yang telah dilakukan sehingga menjadi sebuah karangan sistematis yang dapat dibaca orang lain dan di dalamnya mengandung pelukisan tentang kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.

G.  Sistematika Pembahasan
Untuk memperoleh suatu karya ilmiah yang sistematis, maka diperlukan suatu cara penulisan yang baik, sehingga isi dari hasil penelitian tidak melenceng dari apa yang sudah direncanakan dan ditetapkan dalam batasan masalah yang diteliti. Oleh karena itu, perlu adanya sistematika penulisan yang baik dan terarah dengan perincian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Pada bab ini dimaksudkan sebagai acuan atau kerangka kerja dalam proses penelitian dan penulisan skripsi, sehingga dalam penyusunannya dapat dijelaskan secara sistematis dan sesuai dengan yang direncanakan.
Bab kedua, membahas tentang gambaran etnotgrafi masyarakat Komering, meliputi kondisi sosial-budaya, ekonomi, dan agama. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan situasi secara umum daerah dan masyarakatnya serta memberikan bekal dan gambaran awal tentang pembahasan yang akan dikaji.
Bab ketiga, mendeskripsikan upacara perkawinan masyarakat Komering yang meliputi pra perkawinan masyarakat Komering, saat pelaksanaan perkawinan, dan pasca perkawinan masyarakat Komering. Permasalahan ini penting dibahas untuk memberi gambaran tentang prosesi perkawinan dan mengetahui makna simbol yang terkandung didalamnya.
Bab keempat, membahas tentang latar belakang pemberian gelar adat, serta makna gelar adat dalam masyarakat Komering khususnya bagi individu dan lingkungan sosial.
Bab kelima, merupakan bab terkahir dan penutup, dalam bab ini juga meliputi kesimpulan dari pembahasan secara keseluruhan dan saran-saran, yang diharapkan dapat menarik intisari dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya.