ADAT MASYARAKAT
KOMERING DALAM PEMBERIAN GELAR
SAAT UPACARA PERNIKAHAN DI DESA SERITANJUNG
TANJUNG
LUBUK, OGAN KOMERING ILIR
OLEH :
NAMA : ABDUL HALIF
NIM : 12420001
JURUSAN
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
TAHUN 2014
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................
B. Rumusan Masalah .........................................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...................................................................
D. Tinjauan Pustaka ...........................................................................................
E. Landasan Teori ..............................................................................................
F. Metode Penelitian ..........................................................................................
G. Sistematika Penulisan ....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Kebudayaan merupakan endapan dari kegiatan dan
karya manusia. Ia tidak lagi diartikan semata-mata sebagai segala manifestasi
kehidupan manusia yang berbudi luhur seperti agama, kesenian, filsafat dan
sebagainya. Dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan
setiap orang dan setiap kelompok dalam arti luas. Berlainan dengan binatang
maka manusia tidak bisa hidup begitu saja di tengah-tengah alam, melainkan
selalu mengubah alam itu. Pengertian kebudayaan meliputi seluruh perbuatan
manusia. Kebudayaan juga dipandang sebagai sesuatu yang senantiasa bersifat
dinamis, bukan sesuatu yang statis, bukan lagi “kata benda” melainkan “kata
kerja”.
Kebudayaan diartikan sebagai upaya
masyarakat untuk terus-menerus secara dialektis menjawab setiap tantangan yang
dihadapkan kepadanya dengan menciptakan berbagai sarana dan prasarana. Kebudayaan
mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia karena setiap manusia dalam
masyarakat selalu menemukan kebisaaan baik atau buruk bagi dirinya. Kebiasaan
yang baik akan diakui dan dilaksanakan oleh orang lain yang kemudian dijadikan
sebagai dasar bagi hubungan antara orang-orang tertentu, sehingga tindakan itu
menimbulkan norma atau kaidah. Norma atau kaidah itu disebut juga dengan
istiadat atau tradisi, yang lahir dalam ruang lingkup historisitasnya.
Salah satu tradisi yang berkembang
dimasyarakat adalah penyelenggaraan upacara adat dan aktivitas ritual yang
memiliki arti bagi warga pendukungnya, selain sebagai penghormatan terhadap
leluhur dan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, juga sebagai sarana
sosialisasi dan pengukuhan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan berlaku dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Demikian halnya yang terjadi pada masyarakat
Komering di desa Seritanjung. Di sana, terdapat suatu bentuk upacara adat yang
dianggap sakral dalam menggunakan simbol-simbol sehingga menarik untuk
diteliti, yaitu pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan secara simbolis
oleh pemangku adat setempat kepada kedua mempelai. Pemberian ini, dalam konteks
wilayah Sumatera Selatan merupakan sebuah tradisi yang sifatnya terbatas di
luar institusi budaya Kesultanan Palembang Darussalam.
Masyarakat Komering (jolma Kumoring)
adalah suku-bangsa yang hidup di tepian sungai Komering di wilayah Sumatera
Selatan. Dalam segi bahasa, logat masyarakat Komering mirip logat Lampung
sehingga sering dikira orang Lampung. Beberapa literatur menyebutkan bahwa
orang Komering adalah bagian dari orang Lampung pesisir yang berasal dari
Sekala Brak yang telah lama. Sekala Brak adalah sebuah kerajaan yang letaknya
di dataran Belalau, sebelah selatan Danau Ranau yang secara administratif kini
berada di Kabupaten Lampung Barat. Dari dataran Sekala Brak inilah bangsa
Lampung menyebar ke setiap penjuru dengan mengikuti aliran Way bermigrasi ke
dataran Palembang pada sekitar abad ke-7, dan telah menjadi beberapa Kebudayan atau
Marga Pembagian daerah bagi suku bangsa Lampung diatur oleh Umpu Bejalan Diway dari
Kepaksian Sekala Brak Namun terdapat juga literatur yang menyebutkan sebenarnya
justru suku Lampung pesisir adalah perantauan dari daerah Sumatera Selatan yang
berimigrasi ke daerah pinggiran, dan banyak cerita daerah yang menyebutkan
justru suku Komering jauh lebih tua kebudayaannya dari orang Lampung, bahkan
istilah suku Lampung sendiri baru resmi dengan dibentuknya propinsi Lampung.
Kerancuan sejarah ini dikarenakan
penjajahan Belanda yang lebih dahulu menduduki Lampung dan menjadikan Lampung
sebagai pusat kegiatan penjajahan. Selain itu, setelah Lampung menjadi
propinsi, dengan sendirinya kebudayaan Lampung yang lebih dikembangkan. Sangat
berbeda dengan suku Komering yang terpecah-pecah dalam beberapa Kabupaten di
wilayah Sumatera Selatan, sehingga sulit mengembangkan dan mengenalkan
kebudayaan Komering atau sungai-sungai yaitu Way Komering, Way Kanan, Way
Semangka, Way Seputih, Way Sekampung dan Way Tulang Bawang beserta anak sungainya,
sehingga meliputi dataran Lampung dan Palembang serta Pantai Banten. Umpu
Bejalan Diway merupakan salah satu dari empat keturunan Raja Pagaruyung
Minangkabau (Maulana Umpu Ngegalang Paksi) yang menyebarkan Islam di bumi
Sekala Brak yang penduduk aslinya disebut dengan buay/suku Tumi.
Mayoritas masyarakat Komering menganut
agama Islam, walaupun ada juga sebagian kecil masyarakat yang menganut agama
Katolik, Hindu, Budha dan aliran kepercayaan lainnya. Islam sebagai agama
mayoritas yang terjadi di masyarakat Komering berpengaruh terhadap adat-istiadat,
hukum, ekonomi, dan sosial-budaya yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Proses
akulturasi yang terjadi antara budaya lokal (Sumatera Selatan termasuk di
dalamnya suku Komering) dengan Islam terakumulasi dalam kitab kumpulan hukum
adat atau yang lebih dikenal dengan kitab Undang-undang Simbur Cahaya karangan
Ratu Sinuhun, yang mempengaruhi sistem kemasyarakatan Sumatera Selatan,
kemudian membentuk paradigma masyarakat dengan istilah "adat bersendikan
syara’ dan syara’ bersendikan Kitabullah".
Demikian pula dengan masyarakat Komering
yang ada di Gumawang, peradaban mereka dibangun di pinggiran aliran irigasi
Sungai Komering yang berhulu dari Danau Ranau hingga Sungai Musi di hilir.
Awalnya, masyarakat Komering hampir merata tinggal di daerah pinggiran Sungai
Komering di wilayah Gumawang. Namun, kenyataan seperti itu sudah jarang
ditemukan sekarang, karena mayoritas masyarakat Komering semakin termarjinalkan
yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah penduduk yang datang terus silih
berganti. Ratu Sinuhun adalah istri Pangeran Sido Ing Pasarean yang pernah
berkuasa di Kesultanan Darussalam Palembang pada 1642 Masehi. Kitab Simbur
Cahaya terdiri atas 5 bab, yang membentuk pranata hukum dan kelembagaan adat di
Sumatra Selatan, khususnya terkait persamaan gender wanita dan pria. Sebagai
pemberitahuan saja, bahwa kitab Simbur Cahaya berlaku hingga pemerintah
Indonesia memberlakukan UU No.5 tahun 1979. Menurut budayawan Djohan Hanafiah,
Saat Simbur Cahaya diberlakukan kondisi alam di Sumatera Selatan terjaga, tapi
sejak UU No.5 Tahun 1979 diberlakukan, semuanya menjadi rusak, termasuk hukum
adat. pendatang ini mayoritas berasal dari pulau Jawa. Jadi tidak heran, bila
saat ini daerah Gumawang menjadi salah satu basis pelestarian budaya Jawa di
Sumatera. Sementara untuk budaya suku asli sendiri (Komering) sudah hampir
tidak terlalu menonjol. Sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini budaya
suku asli yang masih ada hanyalah ”runcak-runcakan”atau lebih populer dikenal
dengan sebutan ”lempar selendang”.
Perkawinan dalam Islam, sebagaimana
diketahui, merupakan sebuah perjanjian antara dua pasang yang setara Seorang
wanita sebagai pihak yang sederajat dengan pria dapat menetapkan syarat-syarat
yang diinginkan sebagaimana juga pria, sehingga dalam sebuah perkawinan antara
pria dan wanita tidak terdapat kondisi yang mendominasi dan didominasi. Semua
pihak setara dan sederajat untuk saling bekerja sama dalam sebuah ikatan cinta
dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah).
Masyarakat Komering yang menganut
sistem patrilineal dalam keluarga sangat membatasi gerak kerabat wanita. Di
dalam keluarga, pria bertugas menjaga martabat saudara wanita dan keluarganya.
Posisi pria tersebut banyak disimbolkan dalam acara-acara adat. Dalam
penelusuran peneliti dari beberapa wawancara dan literatur yang ada, pemberian
gelar adat diberikan kepada semua bujang-gadis Budaya lempar selendang merupakan
tradisi masyarakat Komering yang dilaksanakan dalam acara pesta perkawinan yang
dihadiri oleh pemuda-pemudi setempat. Selengkapnya lihat dari masyarakat
Komering yang telah dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan.
Dalam lingkungan sosial, masyarakat
yang memiliki gelar adat akan disapa sesuai dengan gelarnya. Misalkan, apabila
mempelai pria itu merupakan anak terakhir atau bungsu, maka menggunakan gelar
dengan putra nan bungsudan dipanggil dengan kata "bungsu". Pemakaian
gelar adat juga mengikuti urutan kelahiran, sehingga gelar bisa disesuaikan.
Simbol sebagai salah satu inti dari
kebudayaan dan menjadi pertanda dari tindakan manusia selalu ada dan masuk
dalam segala unsur kehidupan. Simbol-simbol yang berupa benda-benda, sebenarnya
terlepas dari tindakan manusia. Tetapi sebaliknya, tindakan manusia harus selalu
mempergunakan simbol-simbol sebagai media penghantar dalam komunikasi antar
sesama. Penggunaan simbol dalam wujud
budaya ternyata dilaksanakan dengan penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan
yang tinggi, yang dianut secara tradisonal dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dalam pengertian ini kemudian kebudayaan merupakan sistem mengenai
konsepsi-konsepsi yang diwariskan secara historis dalam bentuk simbolik, yang
dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan
pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.
Hal unik yang akan diteliti di sini
adalah gelar adat yang diberikan kepada kedua mempelai dalam upacara perkawinanmasyarakat
Komering di Gumawang, OKU Timur, Sumatera Selatan. Gelar adat yang dimaksud
dalam konteks ini adalah simbol penghormatan terhadap seseorang yang telah
menginjak dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan. Ukuran dewasa seorang
ditentukan apabila telah berumah tangga. Oleh karena itu, untuk setiap pria
pada saat upacara perkawinan ia harus diberi gelar adat, serta mempelai
wanitanya juga. Tradisi ini memiliki kesamaan dengan tradisi masyarakat
Minangkabau di Sumatera Barat yang dalam upacara perkawinannya, mendapatkan
gelar. Perbedaannya hanya pada siapa yang memberikan gelar dan siapa saja yang
menerimanya. Misalnya gelar Ratu Marga, yang diberikan kedua orang tua dari
kedua mempelai dengan mengambil gelar-gelar dari leluhurnya, dan diumumkan oleh
pemangku adat setempat dalam tradisi Komering. Sutan Dirajo misalnya, yang
diberikan kepada mempelai pria oleh mamak/ibunya dalam tradisi Minang,dan gelar
itu berfungsi untuk menghormati dan mengangkat harkat.
Penelitian ini penting dilakukan,
mengingatgelar yang diberikan tidak terbatas hanya kepada golongan bangsawan
saja, sebagaimana yang terjadi dalam tradisi keraton Jawa, tetapi kepada seluruh
masyarakat yang telah menginjak dewasa yang ditandai dengan suatu perkawinan.
Dengan demikian, secara tidak langsung hal semacam ini (tradisi pemberian gelar
adat) memiliki implikasi sosial dalam masyarakat berupa pemaknaan gelar adat
tersebut di dalam kesehariannya.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Atas dasar kegelisahan akademik
dalam latar belakang di atas, maka kajian ini berusaha membatasi dan
menfokuskan masalah pada makna gelar adat dalam perkawinan masyarakat Komering
di Gumawang. Pemilihan daerah Gumawang sebagai lokasi dalam penelitian ini,
karena daerah ini merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Komering yang dihuni
oleh masyarakat Komering dan sebagian masyarakat pendatang lainnya.
Selain itu, pemilihan daerah ini
sebagai lokasi penelitian karena Desa Gumawang merupakan pusat
pemerintahantingkat Kecamatan, yakni Kecamatan Belitang. Dengan posisi seperti
itu, Gumawang menjadi desa yang sering dikunjungi oleh daerah-daerah sekitar,
baik dalam urusan sosial-budaya, ekonomi dan pendidikan sekalipun. Hal ini
disebabkan karena perkembangan pembangunan yang pesat dan letak desa yang
strategis dan memiliki fasilitas yang lebih memadai ketimbang daerah lain di
sekitarnya.
Untuk mempermudah dan mengarahkan
penelitian ini, maka penulis membuat rumusan masalah yang terformulasi dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.Bagaimana prosesi perkawinan masyarakat Komering di
Gumawang?
2.Bagaimana latar belakang pemberian gelar adat?
3.Apa makna gelar adat dalam perkawinan masyarakat
Komering secara individu dan masyarakat?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan
manusia memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu pula dengan penelitian ini,
mempunyai tujuan sebagai berikut: pertama, untuk mengkaji tata cara pelaksanaan
upacara perkawinan adat yang diselenggarakan oleh masyarakat Komering sebagai
ekspresi budaya Islam. Kedua, menguraikan, mendeskripsikan dan menganalisis
makna pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering
yang terdapat di Gumawang. Ketiga, mengetahui makna atau arti yang terkandung
dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering, khususnya gelar adat. Dari
sini didapat gambaran yang proporsional, baik secara teoritis, maupun secara
empiris di lapangan.
Adapun kegunaan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Memperluas
cakrawala pengetahuan tentang sejarah dan kebudayaan Nusantara sebagai warisan
yang harus dilestarikan.
2. Sebagai
bahan pertimbangan dan acuan bagi masyarakat luas umumnya, dan masyarakat
setempat khususnya dalam memahami pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan
adat masyarakat Komering.
3. Melengkapi
penelitian tentang perkawinan di Indonesia dan perkawinan adat masyarakat
Komering khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang perkawinan adat telah
cukup banyak dilakukan oleh peneliti dari luar maupun dalam negeri. Namun kajian
tentang perkawinan adat masyarakat Komering sejauh penelusuran peneliti belum
banyak diteliti, apalagi yang secara spesifik melihat praktek pemberian gelar
adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat Komering.
Beberapa karya ilmiah yang pernah
membahas tentang perkawinan adat adalah skripsi Fakultas Syari’ah UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta tahun 2004 dengan judul “Tradisi Perkawinan Adat di
Kecamatan Tapanuli Selatan Ditinjau Dalam Hukum Islam” yang ditulis oleh Damrin
Nasution. Dalam skripsi tersebut, Damrin hanya mendeskripsikan perkawinan adat
pada masyarakat Padang Bolaq yang ditinjau dalam konsep hukum Islam. Ia
mengemukakan bahwa dalam perkawinan adat tersebut terdapat unsur-unsur yang
tidak sesuai dengan konsep hukum Islam, namun juga terdapat unsur-unsur yang
memiliki keselarasan dengan kaidah hukum Islam.
Skripsi Puji Wiyandari, Fakultas
Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, berjudul “Upacara Pernikahan
Adat Jawa Analisis Simbol Untuk Memahami Pandangan Hidup Orang Jawa”. Pada
penelitian ini difokuskan pada makna simbol upacara pernikahan untuk memahami
pandangan hidup orang Jawa yang dapat dilihat dari seluruh prosesi pelaksanaan
serta perlengkapan-perlengkapan yang digunakan dalam upacara pernikahan.
Skripsi Ahmad Syauqi, Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2004, “Transformasi Nilai Islam dalam
Perkawinan Adat Banjar di Kalimantan Selatan”. Dalam skripsi ini, yang menjadi
fokus penelitian adalah nilai-nilai Islam yang terdapat dalam perkawinan adat
masyarakat Banjar. Dalam kesimpulannya, Syauqi mengungkapkan bahwa perkawinan
adat Banjar banyak mengandung nilai-nilai Islam yang terkadang hanya dianggap
sebagai adat biasa saja. Nilai-nilai itu meliputi seluruh prosesi perkawinan
adat masyarakat Banjar yang terjadi sejak awal perkembangan Islam di Banjar.
Hal ini membuktikan bahwa Islam memiliki pengaruh dan meninggalkan kesan
mendalam terhadap kebudayaan Banjar.
Ada juga hasil penelitian yang
diterbitkan dalam bentuk buku oleh M. Hatta Ismail dan M. Arlan Ismail dengan
judul Adat Perkawinan Komering Ulu Sumatera Selatan. Dalam buku yang mengambil
lokasi di daerah Minanga, Kabupaten OKU Timur tidak saja memfokuskan pada
perkawinan adat Komering Minanga, mulai dari tahap awal hingga akhir, tetapi
juga menyebutkan sejarah yang terkait dengan penggunaan bahasa Komering yang
mereka identifikasi memiliki kesamaan dengan bahasa Melayu Kuno sebagaimana
yang dipakai pada zaman Sriwijaya.
Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian di atas terletak pada fokus penelitian yang lebih menitik-beratkan
pada makna simbolis dari unsur-unsur dalam perkawinan adat masyarakat Komering
di Gumawang. Khususnya mengenai makna gelar adat secara individu dan bagi
masyarakat pendukung tradisi tersebut. Dengan demikian, penelitian ini jelas
berbeda dengan penulisan-penulisan sebelumnya, khususnya yang terkait dengan
pokok persoalan.
Dari beberapa literatur tersebut,
penulis belum menemukan pembahasan yang memfokuskan pada makna simbolis dari
gelar adat yang diberikan kepada kedua mempelai yang telah menjadi tradisi
masyarakat Komering di Sumatera Selatan di luar institusi kebudayaan Kesultanan
Darussalam Palembang. Denganasumsi penelitian ini sebagai pembeda sekaligus
pelengkap penelitian-penelitian tentang perkawinan adat di Indonesia dan
literatur atau buku-buku yang sudah ada dipergunakan sebagai bahan referensi
yang dapat membantu dalam penulisan penelitian ini.
E. Landasan Teori
Gelar
adat adalah sebuah simbol penghormatan keluarga dan masyarakat terhadap kedua
mempelai yang akan memasuki gerbang kehidupan yang baru dan akan menjadi
anggota masyarakat secara utuh. Adapun gelar adat merupakan simbol atas
kedewasaan kedua mempelai yang ditandai dengan suatu perkawinan. Oleh karena
itu, untuk mengetahui makna gelar adat dalam perkawinan adat pada masyarakat
Komering ini, penulis menggunakan teori simbol yang dikemukakan oleh Victor
Turner.
Kata simbol berasal dari kata Yunani
yaitu simbolon yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu kepada
seseorang. Manusia dalam hidupnya selalu berkaitan dengan simbol-simbol yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Manusia adalah animal simbolicum,
artinya bahwa pemikiran dan tingkah laku simbolis merupakan ciri yang
betul-betul khas manusiawi dan bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia
mendasarkan diri pada kondisi-kondisi itu. Selanjutnya, dalam simbol-simbol
tersebut memiliki makna yang sangat prinsipil bagi setiap masyarakat
pendukungnya, karena hal tersebut mempengaruhi tata kelakuan dan seluruh sistem
kehidupan yang ada dalam masyarakat, tidak terkecuali suku Komering.
Dalam konteks ini, simbol yang
digunakan dalam sebuah ritual adalah gelar adat yang diberikan kedua orang tua
kepada kedua mempelai dengan mengambil gelar-gelar dari leluhurnya, dan
diumumkan oleh pemangku adat setempat pada saat upacara perkawinanadat
masyarakat Komering. Simbol merupakan unsur atau unit terkecil yang
tersublimasi dalam setiap budaya, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya manusia
penuh diwarnai dengan simbolisme yaitu suatu tata pemikiran atau paham yang
menekankan atau mengikuti pola-pola yang mendasarkan diri kepada simbol atau
lambang. Selanjutnya, unsur-unsur yang ada dalam bentuk simbol akan diberi
makna oleh masyarakat pendukung dari kebudayaan tersebut dengan menafsirkan dan
mengartikannya dalam kesatuan hidup yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan yang terikat oleh identitas
bersama.
Artinya, simbol tidak akan pernah
memiliki makna bila masyarakat tidak memberikannya. Untuk memahami
pendefinisian simbol, kita harus memahami definisi dan proses pendefinisiannya
melalui perilaku masyarakat yang berupa interaksi sosial. Karena melalui
interaksi seseorang akan menafsirkan dan memberikan definisi terhadap simbol yang
diterima masyarakat untuk membentuk suatu pengertian yang utuh.
Victor Turner menghubungkan suatu
perkawinan dengan liminalitas. Liminalitas adalah tahap tatkala seseorang
mengalami keadaan ketidakberbedaan. Artinya, seseorang mengalami sesuatu
yanglain dengan keadaan sehari-hari yaitu pengalaman yang anti struktur.
Liminal itu sering diartikan sebagai peralihan. Pengalaman ini akan membuat
seseorang sadar diri, sadar akan eksistensinya dengan melakukan refleksi diri
dalam rangka sedang meninggalkan masa tertentu dan sedang masuk masa tertentu
pula. Ringkasnya, gelar adat ini diberikan sebagai konsekuensi logis dari tahap
(masa) yang telah dilewati dan sedang masuk dalam tahap berikutnya dalam siklus
kehidupan manusia.
Dalam pandangan Van Gennep ketika
seseorang memasuki masa peralihan dari satu situasi ke situasi lain, akan
mengalami tiga proses, yaitu: pertama, ritus pemisahan. Dalam hal ini terjadi
pemisahan dari satu cara hidup ke cara hidup lainnya. Kedua. ritus peralihan,
yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain,
misalnya kelahiran, supitan dan sebagainya.
Ketiga, ritus inkorporasi, ritus yang menyatukan,
misalnya hubungan pernikahan. Ritus inkorporasi menonjol dalam upacara
perkawinan, karena di sini peran persatuan antara suami-istri sangat
ditekankan. Artinya dua menjadi satu untuk membangun satu keluarga baru.
Upacara perkawinan merupakan suatu peralihan yang terpenting, karena
upacara tersebut dianggap merayakan saat peralihan dari tingkat hidup remaja ke
tingkat hidup dewasa yang ditandai dengan suatu perkaw
inan. Dalam masyarakat, peralihan status merupakan
suatu peralihan yang suci. Orang akan memasuki tahap baru dalam kehidupan
masyarakatnya. Setiap peralihan status diiringi dengan ritus untuk menghindari
adanya sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti halnya pada masyarakat Komering,
dalam hal ini mereka percaya bahwa ketika tidak mengadakan ritual, mereka akan
diganggu oleh roh leluhur dan akan menimbulkan malapetaka.
Turner juga mengetengahkan ciri khas
simbol, yaitu:
(a) multivokal, artinya simbol memiliki banyak arti,
menunjuk pada banyak hal, pribadi dan atau fenomen. Hal ini menunjukkan betapa
kaya makna simbol ritual, (b) polarisasi simbol, karena simbol memiliki banyak
arti sering ada arti simbol yang bertentangan.
(c) unifikasi, artinya unik dan memiliki kesatuan
arti. Turner juga mensugestikan bahwa melalui analisis simbol ritual akan
membantu menjelaskan secara benar nilai yang ada dalam masyarakat dan akan
menghilangkan keragu-raguan tentang kebenaran sebuah penjelasan.
Dalam pengaplikasiannya, makna simbol
dalam aktivitas ritual perkawinan adat masyarakat Komering dianalisis
menggunakan teori penafsiran yang juga dikemukan oleh Turner sebagai berikut:
(1) exegetical
meaning
yaitu makna
yang diperoleh dari informan warga setempat tentang perilaku ritual yang
diamati. Dalam ini, perlu dibedakan antara informasi yang diberikan oleh
informan awam dan pakar, antara interpretasi esoterik dan eksoterik. Seorang
peneliti juga harus tahu pasti tentang penjelasan yang diberikan informan itu
benar-benar representatif dan atau hanya penjelasan dari pandangan pribadi yang
unik;
(2) operational
meaning
yaitu makna
yang diperoleh tidak terbatas pada perkataan informan, melainkan dari tindakan
yang dilakukan dalam ritual. Dalam hal ini perlu diarahkan pada informasi pada
tingkat masalah dinamika sosial. Pengamat seharusnya tidak hanya
mempertimbangkan simbol tetapi sampai pada interpretasi struktur dan susunan
masyarakat yang menjalankan ritual. Apakah penampilan dan kualitas afektif
informan seperti sikap agresif, sedih, menyesal, mengejek, gembira dan
sebagainya langsung merujuk pada simbol ritual? Bahkan peneliti juga harus
sampai memperhatikan orang tertentu ataukelompok yang kadang-kadang hadir atau
tidak hadir dalam ritual. Apa dan mengapa pula mereka mengabaikan kehadiran
simbol;
(3) positional
meaning
yaitu makna yang diperoleh melalui
interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara
totalitas. Tingkatan makna ini langsung dihubungkan pada pemilik simbol ritual.
Pendek kata, makna suatu simbol ritual harus ditafsirkan ke dalam konteks
simbol yang lain dan pemiliknya.
Ketiga dimensi penafsiran tersebut,
sebenarnya saling lengkap-melengkapi dalam proses pemaknan simbol ritual. Jika
nomor (1) mendasarkan wawancara kepada informan setempat, nomor (2) lebih
menekankan pada tindakan ritual dalam kaitannya dengan struktur dan dinamika
sosial, dan nomor (3) mengarah pada hubungan konteks antar simbol dengan
pemiliknya. Ketiganya tentu saja tepat digunakan bersama-sama untuk mengungkap
makna pemberian gelar adat (julukan) dalam upacara perkawinan adat masyarakat
Komering.
Untuk memahami fenomena budaya atau gejala
budaya dalam tradisi ini, penulis menggunakan pendekatan gabungan antara emik dan
etik, artinya bahwa data etnografi tidak hanya diperoleh dari informasi warga
Gumawang yang bersangkutan, tetapi juga dapat diperoleh dari pemikiran yang
berpihak pada antropologi (bahan-bahan yang mengulas tentang budaya tersebut). Dengan
pendekatan ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh data yang komprehensif dan
holistik. Hal ini sekaligus untuk melakukan kritik terhadap data yang diperoleh
dari lapangan.
F. Metode
Penelitian
Berdasarkan tempatnya, penelitian
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu
penelitian yang dilakukan di perpustakaan (Library
Research), penelitian yang dilakukan di lapangan (Field Research), dan
penelitian yang dilakukan di laboratorium (Laboratory Research). Karena
penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di lapangan atau kancah,
maka penelitian ini termasuk dalam Field Research, yang lebih merupakan studi
tentang kajian budaya atau tradisi. Namun demikian, penelitian ini juga
menggunakan data literatur yang dimaksudkan sebagai data pelengkap.
Dalam penelitian ini, metode yang
digunakan adalah metode penelitian budaya dengan jenis kualitatif yang berupa
deskripsi, yaitu ucapan atau tulisan, dan perilaku yang dapat diamati dari
subjek budaya itu sendiri. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menempuh
tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Teknik Pengumpulan Data (Heuristik)
Heuristik berasal dari bahasa Yunani
heurisken yang berarti memperoleh. Heuristik
adalah teknik atau seni mengumpulkan data yang tidak mempunyai
peraturan-peraturan umum, ia tidak lebih dari suatu keterampilan menangani
bahan.
Berkaitan dengan topik yang akan
diteliti, yaitu pemberian gelar adat dalam upacara perkawinan adat masyarakat
Komering di Gumawang, OKU
Timur, Sumatera Selatan, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.
Observasi
Observasi adalah pengumpulan data
yang dilakukan peneliti dengan mengadakan pengamatan inderawi dan melakukan
pencatatan terhadap gejala-gejala yang terjadi pada objek penelitian secara
langsung di tempat penelitian. Dalam hal ini, peneliti mengadakan pengamatan
langsung terhadap proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat
Komering di Gumawang.
b.
Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab
dalam penelitian yang berlangsung secara lisan antara dua orang atau lebih
bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau
keterangan-keterangan. Jenis interview yang peneliti pergunakan dalam
penelitian ini adalah bebas terpimpin, yaitu dengan tidak terikat kepada
kerangka pertanyaan-pertanyaan, melainkan dengan kebijakan interviewer (pewawancara)
dan situasi ketika wawancara dilakukan.
Dalam menggunakan interview tidak
terlepas dari masalah pokok yang perlu diperhatikan seperti yang telah
dikemukakan oleh Koentjaraningrat, yaitu: Pertama, seleksi individu untuk
diwawancarai; kedua, pendekatan pada orang yang telah diseleksi untuk
diwawancarai; ketiga, pengembangan suasana lancar dalam mewawancarai serta
untuk menimbulkan pengertian dan bantuan sepenuhnya dari orang yang
diwawancarai. Adapun pihak-pihak yang dijadikan nara sumber atau informasi
adalah para tokoh masyarakat dan lebih ditekankan pada pelaku upacara adat,
yaitu kedua mempelai pengantin, pemangku adat, tokoh agama, dan perangkat desa.
c. Dokumentasi
Dalam
pengumpulan sumber tertulis, peneliti menggunakan metode dokumenter, yaitu
teknik penelitian, teknik penyelidikan yang ditujukan pada penguraian dan
penjelasan terhadap apa yang telah lalu melalui sumber dokumen. Metode ini
dimaksudkan untuk mengumpulkan sumber primer dan sekunder, yakni melalui sumber
yang diperoleh dari dokumen, buku dan foto dari beberapa sumber yang ada.
2.
Kritik Sumber
Penelitian ini menggunakan kritik sumber
yaitu cara-cara untuk meneliti otentisitas dan kredibilitas sumber yang
diperoleh. Kritik dilakukan dengan kritik intern dan ekstern.
a. Kritik
Intern
Kritik
Intern bertujuan untuk meneliti kebenaran isi (data) sumber data itu. Dengan
kritik intern ini penulis berusaha mendapatkan kebenaran sumber data dengan
mengkaji berbagai faktor seperti adanya kesesuaian hasil wawancara dengan
observasi dan penelitian yang penulis lakukan.
b. Kritik
Ekstern
Kritik
ekstern dilakukan untuk mengetahui tingkat keaslian sumber data guna memperoleh
keyakinan bahwa penelitian telah dilakukan dengan mempergunakan sumber data
yang tepat.
Adapun
terhadap sumber lisan, penulis melakukan kritik ini dengan melihat integritas
pribadi informan, usia informan, jabatan informan, dan keterlibatan informan
dalam pelaksanaan tradisi
3.
Analisis data
Analisis itu sendiri berarti menguraikan
atau memisah-misahkan, maka menganalisis data berarti menguraikan data,
sehingga berdasarkan data tersebut, dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan. Pada
tahap ini peneliti melakukan penafsiran dan analisis data yang telah diperoleh
yang memiliki kaitan atau berhubungan dengan judul atau topik masalah. Tahap
terakhir dari analisis data adalah penyatuan data dalam bentuk sintesis.
4.
Laporan Penelitian
Setelah langkah operasional
dilakukan, maka hasil penelitian ini ditulis berdasarkan fakta dan data yang
diperoleh selama penelitian. Sebagai tahap terakhir dalam metode budaya,
penulisan di sini merupakan cara penulisan, pemaparan atau pelaporan hasil
penelitian budaya yang telah dilakukan sehingga menjadi sebuah karangan
sistematis yang dapat dibaca orang lain dan di dalamnya mengandung pelukisan
tentang kehidupan suatu masyarakat dan kebudayaan di suatu daerah.
G. Sistematika
Pembahasan
Untuk memperoleh suatu karya ilmiah
yang sistematis, maka diperlukan suatu cara penulisan yang baik, sehingga isi
dari hasil penelitian tidak melenceng dari apa yang sudah direncanakan dan
ditetapkan dalam batasan masalah yang diteliti. Oleh karena itu, perlu adanya
sistematika penulisan yang baik dan terarah dengan perincian sebagai berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan. Pada bab ini dimaksudkan sebagai acuan atau
kerangka kerja dalam proses penelitian dan penulisan skripsi, sehingga dalam
penyusunannya dapat dijelaskan secara sistematis dan sesuai dengan yang direncanakan.
Bab kedua, membahas tentang gambaran
etnotgrafi masyarakat Komering, meliputi kondisi sosial-budaya, ekonomi, dan
agama. Pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan situasi secara
umum daerah dan masyarakatnya serta memberikan bekal dan gambaran awal tentang
pembahasan yang akan dikaji.
Bab ketiga, mendeskripsikan upacara perkawinan
masyarakat Komering yang meliputi pra perkawinan masyarakat Komering, saat
pelaksanaan perkawinan, dan pasca perkawinan masyarakat Komering. Permasalahan
ini penting dibahas untuk memberi gambaran tentang prosesi perkawinan dan
mengetahui makna simbol yang terkandung didalamnya.
Bab keempat, membahas tentang latar
belakang pemberian gelar adat, serta makna gelar adat dalam masyarakat Komering
khususnya bagi individu dan lingkungan sosial.
Bab kelima, merupakan bab terkahir
dan penutup, dalam bab ini juga meliputi kesimpulan dari pembahasan secara
keseluruhan dan saran-saran, yang diharapkan dapat menarik intisari dari pembahasan
pada bab-bab sebelumnya.